Mengangkasa di Atas Pesona Telaga Warna
Datatan tinggi Dieng menyimpan pesona yang tak tak terkira. Memanjakan mata, menyejukkan hati, terlebih bagi kita yang baru pertama kali ke sana. Salah satu tujuan wisata di Jawa Tengah ini berada di dua wilayah kabupaten, Wonosobo dan Banjarnegara.
Telaga Warna, 2000 MDPL |
Bulan Agustus 2019 lalu, kami berkesempatan berkunjung ke salah satu obyek yang ada di sana. Kompleks DPT (Dieng Plateau Theatre) adalah salah satu obyek yang kami kunjungi. Dikompleks tersebut, pertama kita akan diajak menyaksikan sekilas tentang Dataran Tinggi Dieng melalui tayangan di "Bioskop Mini".
Tayangan berdurasi 30 menit itu menyuguhkan tentang asal muasal Dataran Tinggi Dieng. Tentang aktivitas masyarakat, produksi kentang dan tanaman khas dataran tinggi, serta pantauan rutin dari BMKG juga termasuk di dalam tayangan itu. Kenapa namanya DIENG, dipaparkan pula di sana.
Setelah kita mendapat suguhan dari Dinas Pariwisata Wonosobo, kita lanjut menyaksikan pesona Telaga Warna dari atas Bukit Pandang Ratapan Angin. Jika kita memiliki drone, kita dapat mengabadikannya dengan mengangkasa di atasnya, Mengangkasa di atas Telaga Warna.
"Tlaga ne sakniki pun mboten saged malih-malih Mas, wernane. Mboten kados kala mben", ungkap sopir Minibus yang kami sewa. Menurut penuturannya, terakhir kurang lebih tahun 1996 ia masih menyaksikan keelokan telaga itu. Warna nya masih berubah-ubah. Semenjak adanya pengeboran untuk proyek PLTU, kini warnanya tak seelok dulu.
Seperti yang kita tahu warna air Telaga Warna dapat berubah-ubah. Terkadang berwarna hijau dan kuning atau berwarna warni seperti pelangi. Fenomena ini terjadi karena air telaga mengandung sulfur yang cukup tinggi, sehingga saat sinar matahari mengenainya, maka warna air telaga tampak berwarna warni.
Lebih lanjut Pak Sopir itu bercerita layaknya Guide, "Niku kan angine ageng Mas, dados suara angin sing lewat selaning watu-watu bukit niku ndadekne suara, mula kagem menarik wisatawan dijenengi Batu Pandang Ratapan Angin". Begitu kisahnya kenapa bukit itu dinamakan demikian.
Memang ketika kita berada di bukit yang dimaksud, hembusan angin sering terasa kencang dan menimbulkan suara mendesis seperti orang meratapi kesedihan. Mungkin itulah kenapa dua buah batu ini diberi nama batu ratapan. Batu ratapan angin merupakan dua buah batu besar yang berdampingan dan terletak diatas bukit sekitar DPT. lokasi ini menjadi lokasi strategis untuk menikmati keindahan telaga warna pengilon dengan background hamparan lukisan alam yang sempurna.
Kebetulan waktu itu saya duduk di depan, jadi saat Minibus melaju, meliuk, menyusuri jalanan bersuhu belasan derajat di siang hari itu, saya bisa ngobrol dan ia dapat bercerita banyak hal pada kami. Tentang Gunung Kembang, Gunung Paku Joyo, Puncak Si Kunir, Gunung Prau, Sumbing, Sindoro hingga perbatasan antara Dieng Wonosobo dan Banjarnegara pun sempat ia cerita dan tunjukan pada kami.
Tayangan berdurasi 30 menit itu menyuguhkan tentang asal muasal Dataran Tinggi Dieng. Tentang aktivitas masyarakat, produksi kentang dan tanaman khas dataran tinggi, serta pantauan rutin dari BMKG juga termasuk di dalam tayangan itu. Kenapa namanya DIENG, dipaparkan pula di sana.
Setelah kita mendapat suguhan dari Dinas Pariwisata Wonosobo, kita lanjut menyaksikan pesona Telaga Warna dari atas Bukit Pandang Ratapan Angin. Jika kita memiliki drone, kita dapat mengabadikannya dengan mengangkasa di atasnya, Mengangkasa di atas Telaga Warna.
"Tlaga ne sakniki pun mboten saged malih-malih Mas, wernane. Mboten kados kala mben", ungkap sopir Minibus yang kami sewa. Menurut penuturannya, terakhir kurang lebih tahun 1996 ia masih menyaksikan keelokan telaga itu. Warna nya masih berubah-ubah. Semenjak adanya pengeboran untuk proyek PLTU, kini warnanya tak seelok dulu.
Seperti yang kita tahu warna air Telaga Warna dapat berubah-ubah. Terkadang berwarna hijau dan kuning atau berwarna warni seperti pelangi. Fenomena ini terjadi karena air telaga mengandung sulfur yang cukup tinggi, sehingga saat sinar matahari mengenainya, maka warna air telaga tampak berwarna warni.
Lebih lanjut Pak Sopir itu bercerita layaknya Guide, "Niku kan angine ageng Mas, dados suara angin sing lewat selaning watu-watu bukit niku ndadekne suara, mula kagem menarik wisatawan dijenengi Batu Pandang Ratapan Angin". Begitu kisahnya kenapa bukit itu dinamakan demikian.
Memang ketika kita berada di bukit yang dimaksud, hembusan angin sering terasa kencang dan menimbulkan suara mendesis seperti orang meratapi kesedihan. Mungkin itulah kenapa dua buah batu ini diberi nama batu ratapan. Batu ratapan angin merupakan dua buah batu besar yang berdampingan dan terletak diatas bukit sekitar DPT. lokasi ini menjadi lokasi strategis untuk menikmati keindahan telaga warna pengilon dengan background hamparan lukisan alam yang sempurna.
Kebetulan waktu itu saya duduk di depan, jadi saat Minibus melaju, meliuk, menyusuri jalanan bersuhu belasan derajat di siang hari itu, saya bisa ngobrol dan ia dapat bercerita banyak hal pada kami. Tentang Gunung Kembang, Gunung Paku Joyo, Puncak Si Kunir, Gunung Prau, Sumbing, Sindoro hingga perbatasan antara Dieng Wonosobo dan Banjarnegara pun sempat ia cerita dan tunjukan pada kami.
Diantara Sumbing Sindoro, Tuk Bimo Lukar, Anak berambut gimbal, Carica, Purwoceng, Perkebunan dan Pabrik Teh Tambi, Dieng Culture Festival, kami coba mengagumi keagunganMU.
Semoga di lain kesempatan, bisa kita ulang kembali dengan destinasi yang berbeda, di wilayah yang sama, InsyaAllah.
Dieng, Agustus 2019